( Klasik) Bunga Sutera Istana Joseon Bersemi Kembali



 

Musim semi yang lalu, Hwang Su-ro, seorang maestro bunga sutera kerajaan menjadi sorotan media. Setelah serangkaian wawancara dan foto bunga suteranya yang elegan di dalam vas besar muncul di surat kabar, mulailah terlihat minat masyarakat terhadap seni yang tak banyak dikenal yaitu pembuatan bunga sutera dari jaman Dinasti Joseon (1392-1910). Seni yang hampir terlupakan ini menyita perhatian publik, dan banyak masyarakat untuk pertama kalinya memberikan apresiasi terhadap kecantikan budaya kerajaan Korea.


Kelopak, benang sari dan putik sutera dilapisi dengan serbuk biji pinus dan lilin, dan kemudian dengan hati-hati dirangkai. Karena hanya menggunakan bahan alami, bunga artifisial ini sering kali menarik lebah dan kupu-kupu ketika dipamerkan di luar ruangan.


Bunga sutera kerajaan, atau gungjung chaehwa, dipamerkan di acara jamuan makan malam dan upacara-upacara kalangan atas pada masa dinasti Joseon. Sutera yang digunakan untuk membuat bunga artifisial ini dikanji dan diwarnai dengan ekstrak bunga, buah dan rumput segar. Kelopak, benang sari dan putik sutera dilapisi dengan serbuk biji pinus dan lilin, dan kemudian dengan hati-hati dirangkai. Karena hanya menggunakan bahan alami, bunga artifisial ini sering kali menarik lebah dan kupu-kupu ketika dipamerkan di luar ruangan.

Terdapat beberapa jenis bunya sutera yang dibuat di kerajaan. Bunga yang diberikan oleh Raja kepada mereka yang sudah menyelesaikan ujian pelayanan sipil disebut eosahwa; bunga yang dipakai di rambut dalam acara seremonial dikenal dengan nama jamhwa; bunga yang ditempatkan di atas meja hidangan disebut sanghwa; dan bunga yang digunakan dalam pertunjuk-an musik dan tari disebut uijanghwa. Kecuali eosahwa, yang sering terlihat dalam acara sejarah di televisi ketika raja memberikan hadiah kepada mereka yang meraih nilai ujian tertinggi dengan rangkaian bunga sutera anggun pada topinya, bunga-bunga itu hampir tak dikenal dewasa ini. Kurangnya kesadaran ini terjadi karena terbatasnya informasi yang relevan. Bunga-bunga ini tercatat di uigwe, catatan resmi peristiwa dan upacara kerajaan, dan kebanyakan ditampilkan dalam gambar sederhana.



Maestro Bunga Sutera Kerajaan


Tradisi unik pembuatan bunga sutera kerajaan dari jaman dinasti Joseon menghilang setelah pendudukan Jepang atas Korea pada awal abad 20. Karena tak lagi memiliki status sebagai kalangan kerajaan, mereka hanya mengadakan beberapa upacara resmi, semen-tara budayanya termasuk seni pertunjukan, tak lagi dilakukan. Bunga sutera yang menghiasi meja jamuan pada acara-acara perayaan tidak ada lagi, sementara rangkaian bunga segar, yang pertama kali diperkenalkan oleh Jepang, kian digemari.

Pada suaatu ketika, Hwang Su-ro melihat bunga sutera di rumah neneknya. Kakeknya, Yi Su-chang (1885-1942), telah mengabdi pada Kantor Rumah Tangga Istana selama Kekaisaran Korea (1897-1910) dan mendapatkan pengetahuan mengenai budaya istana secara langsung. Hwang, yang dibesarkan di rumah neneknya, belajar bagaimana penataan meja pada masa itu berbeda dari lainnya.

Di meja makan selalu diletakkan bunga artifisial yang dibuat oleh nenek, ibu dan bibinya
Setelah menyelesaikan kuliah, Hwang pergi ke Jepang untuk bertemu suaminya yang sedang belajar di sana. Selama tinggal di Tokyo, dia belajar merangkai bunga dan upacara minum teh. Gurunya memberitahu bahwa dekorasi bunga adalah tradisi unik yang dimiliki Jepang, sebuah pernyataan yang sulit diterima oleh Hwang. Sekembalinya ke Korea, dia ingin menghadirkan kembali bunga sutera yang biasa dibuat oleh ibu dan neneknya dan menjadi awal sejarah dekorasi bunga di Korea.

Untuk mencapai tujuannya itu, dia mengumpulkan dokumen sejarah dan belajar ketrampilan membuat bunga dari para cenayang, biara dan siapapun yang memiliki pengetahuan mengenai bunga artifisial. Meski seni pembuatan bunga sutera timbul dan tenggelam selama masa penjajahan Jepang, jejaknya tetap ada dalam seni pembuatan bunga kertas di candi-candi Buddha dan upacara yang dilakukan oleh para cenayang. Hwang menerbitkan temuan penelitiannya dengan judul “Sejarah Budaya Seni Bunga Korea 1, 2” (Samsung Books, 1990) dan “Langkah Awal dalam Seni Bunga Suro” (Yeungnam Inse, 1980). Dia mendirikan Institut Seni Bunga Suro dan Institut Bunga Sutera Kerajaan Korea untuk melatih mereka yang berminat dalam bi-dang ini, sambil meneruskan penelitian dan pembuatan bunga.



Kebangkitan Kembali yang Ditandai dengan Pameran

Hwang menjadi terkenal ketika Kantor Warisan Budaya menobatkannya sebagai pemegang Kekayaan Budaya yang Tidak Dapat Diraba (Important Intangible Cultural Property) No. 124 pada bulan Januari 2013, yang diikuti oleh pameran untuk memperingati penganugrahannya itu.

Pameran bertajuk “Bunga Sutera Kerajaan yang Cantik,” diadakan pada tanggal 8 April sampai deng-an 25 Mei 2014 di Museum Nasional Istana Korea, dan merupakan kegiatan yang sangat mengesankan, deng-an bunga sutera cantik dari berbagai ragam dan ukuran menghiasi ruang pamer khusus di museum itu.

Salah satunya menampilkan kreasi ulang meja utama dalam acara jamuan untuk merayakan 30 tahun penobatan Raja Sunjo. Pada saat memasuki ruang pameran, pengunjung disambut oleh dua vas bunga yang besar, satu berisi bunga peach merah dan lainnya berisi bunga peach putih. Vas-vas besar yang disebut hwajun ini diisi dengan ranting berbunga, yang biasanya ditempatkan di kanan kiri singgasana raja selama perayaan di istana. Vas bunga itu berwarna biru dan putih terbuat dari porselen dengan hiasan berupa gambar naga di bagian luarnya. Vas itu diisi dengan beras sehingga mampu menahan pohon peach yang setidaknya setinggi tiga meter. Cabang-cabangnya dihiasi dengan bunga sutera dan lebih dari 40 burung, kupu-kupu, dan serangga yang dibuat dari madu mentah dan dirangkai demikian cantiknya di sela bunga-bunga. Setiap vas biasanya memiliki 2.000 kuntum bunga. Hwang menjelaskan bahwa bunga sutera kerajaan lebih dari sekadar hiasan; tapi merupakan simbol kekuasaan dan pencapaian sang raja.

Hwang juga membuat replika jidangpan, sebuah panggung berhias yang dikelilingi para penari istana dalam perayaan-perayaan, dan di belakangnya ditempatkan meja jamuan kerajaan sama seperti 185 tahun yang lalu. Dua meja jamuan dipasang untuk memperingati 30 tahun bertahtanya Sunjo; satu meja deng-an raja dan putra mahkota dan diperuntukkan bagi para pejabat pemerintah yang hadir, dan meja lainnya diperuntukkan bagi para wanita di keluarga kerajaan deng-an janda permaisuri dan ratu. Meja untuk tiap jamuan dibuat ulang berdasarkan Sunjo gichungnyeon jinchan uigwe (Prokoler Jamuan Kerajaan Sunjo pada Masa Gi-chuk”). Meja-meja itu ditempatkan dalam ruang istana Meongjeongjeon dan Jagyeongjeon, yang dirancang dan dibuat kembali oleh Kim Bong-ryol, seorang ahli dalam arsitektur tradisional Korea dan presiden Korean National University of Arts.

Secara keseluruhan, 5.289 kuntum bunga sutera digunakan dalam meja jamuan untuk laki-laki dan 6.557 kuntum untuk meja jamuan bagi para wanita. Pada meja jamuan untuk para wanita, yang biasanya diadakan pada malam hari, bunga tanaman berbiji banyak seperti delima, anggur dan sitrun, ikut menghiasi meja itu untuk melambangkan kesejahteraan negara dan generasi masa depan.

Jika dilihat dari dekat, kuntum bunga itu menunjukkan pekerjaan tangan yang cermat. Karya seni ini sangat indah. Dari semua jamuan kerajaan Dinasti Joseon, Hwang memilih acara ini karena memberinya ke-sempatan membuat foto-foto bunga sutera yang bagus dan tahan lama. “Saya ingin mereka-ulang seni dekoratif rumah tangga kerajaan Joseon berdasarkan dokumentasi terbaik yang ada,” jelasnya.

Karya yang juga diunggulkan dalam pameran ini adalah hasil karya Bruno Légeron, seorang maestro seni pembuatan bunga sutera Perancis. Karyanya ditempatkan bersebelahan dengan karya Hwang, dan memungkinkan pengunjung membuat perbandingan. Di pintu masuk terdapat replika ruang kerja Hwang di salah satu sisi, dan replika ruang kerja Légeron di Paris di sisi lainnya. Pertama kali muncul pada tahun 1880, karya Atelier Boutique Légeron menghiasi rambut dan gaun para wanita dari kelas atas sementara korsase yang digunakan di antaranya rancangan Chanel, Christian Dior, dan Ungaro.

Ruang kerja Légeron, sebagaimana ditampilkan dalam pameran itu, memiliki dinding yang dilapisi deng-an sangat cantik oleh hiasan bunga, dan sebuah meja dengan manual yang sudah diturunkan selama empat generasi pembuat bunga dan beragam peralatan yang digunakan dalam pekerjaan itu. Ukuran dan bentuk peralatan itu berbeda dari alat yang digunakan oleh Hwang Su-ro, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama.

Hwang telah mencari-cari pembuat bunga di negara lain untuk mencari cara untuk melestarikan tradisi ini. Dia meminta anak laki-lakinya, Choi Sung-woo, presiden Yayasan Kebudayaan Ilmac, mengunjungi Paris tiga tahun lalu untuk bertemu dengan Bruno Légeron. Keduanya kemudian menjalin hubungan dan menyelenggarakan pameran bersama.


Bunga yang Bersemi Selamanya

Raja dan kaum terpelajar Dinasti Joseon tidak me-metik bunga segar karena mereka sangat menghargai semua makhluk hidup. Oleh karena itu mereka memilih bunga yang dibuat oleh para seniman dalam perayaan kerajaan. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun sejak Dinasti Goryeo. Dalam periode dinasti ini, bunga sutera digunakan dalam jamuan kenegaraan dan upacara Buddha. Sayangnya, tak banyak yang diketahui mengenai pembuatan bunga pada masa itu.

Dinasti Joseon meninggalkan keterangan dan lukisan jamuan kerajaan dalam bentuk dokumen resmi kenega-raan yang disebut uigwe. Catatan terbaru mengenai bunga sutera yang digunakan dalam jamuan kerajaan pada masa Joseon ditemukan oleh Hwang Su-ro dalam “Protokol Jamuan Kenegaraan Gojong tahun 1902.

Pembuatan bunga sutera memerlukan kesa-baran luar biasa dan merupakan pekerjaan manual yang sangat rapi. Untuk satu kuntum bunga, seorang seniman harus memotong setiap kelopak dari sutera dan me-rangkaianya. Sutera itu harus diperhalus dengan alat dari kayu untuk memberi kesan alami pada bunga itu. Secara keseluruhan, diperlukan sekitar satu setengah bulan untuk menyelesaikan satu bunga.

Cara dan bahan pembuatan bunga juga bervariasi tergantung acaranya. Jenis bunga yang berbeda digunakan dalam tiap musim dan diwarnai dengan kelima warna utama yaitu kuning, biru, putih, merah dan hitam. Dalam pandangan Hwang, aspek paling penting dalam pembuatan bunga sutera adalah pelapisan dengan kanji. “Jika proses ini tidak dilakukan dengan sempurna, bunga akan cepat ditumbuhi jamur dan hama. Kanji yang dipakai harus berusia lebih dari tiga tahun untuk me-lindungi bunga secara efektif dan memberi kesan kemilau yang cantik,” jelasnya, seraya menambahkan, “Saya memerlukan sekitar 20 tahun untuk mempelajarinya.” Bunga sutera, yang sudah ditekuni Hwang selama lebih dari 50 tahun hidupnya, kini bersemi kembali.


 
Source: Korea Herald
(INA)koreana.or.k

Comments